ARTICLE AD BOX
JAKARTA - Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, membayar pajak seringkali bukan pilihan yang menyenangkan, melainkan sebuah keharusan yang terasa terpaksa. Fenomena ini menjadi sorotan utama peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, yang mengupas tuntas akar masalah shadow economy di Tanah Air. Ia berpendapat bahwa persoalan ini jauh lebih mendalam dari sekadar tingkat kepatuhan wajib pajak.
“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak, ” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Vid menyajikan gambaran sederhana yang mungkin dirasakan banyak orang. Ia mencontohkan, seorang pedagang rumahan dengan keuntungan bersih Rp100 juta per tahun, tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bisa saja lolos dari kewajiban setor pajak. Namun, sebaliknya, seorang pekerja formal dengan gaji Rp70 juta per tahun, yang sudah terdaftar NPWP, wajib membayar pajak. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keadilan.
“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem, ” tegasnya, menggambarkan rasa frustrasi yang mungkin dirasakan oleh mereka yang merasa diperlakukan tidak setara.
Lebih lanjut, Vid menyoroti lemahnya efek jera bagi mereka yang memilih tetap berada di luar sistem perpajakan. Tanpa NPWP sekalipun, warga masih dapat menikmati berbagai fasilitas publik, mengurus dokumen penting seperti paspor dan Surat Izin Mengemudi (SIM), bahkan turut menikmati pembangunan infrastruktur yang sejatinya dibiayai oleh pajak. Ini menciptakan ironi di mana kontribusi pajak tidak selalu menjadi prasyarat untuk menikmati manfaatnya.
“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah, ” ungkapnya, berbagi pengalaman pribadi yang mencerminkan kurangnya dorongan kuat untuk terintegrasi dengan sistem.
Vid Adrison mengusulkan solusi fundamental yang diyakininya ampuh untuk mengatasi masalah ini: integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP. Dengan menyatukan kedua identitas kependudukan ini, semua warga negara secara otomatis akan tercatat dalam sistem sejak lahir. Pendekatan ini diharapkan dapat membuka jalan bagi pemerintah untuk melakukan pemilahan yang lebih akurat antara wajib pajak yang berada di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan yang di bawahnya, sehingga ekonomi bayangan dapat lebih terkendali.
“Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama, ” katanya, menyuarakan urgensi perubahan sistem. (PERS)