Penemuan Spesies Baru Anggrek Akar Chiloschista tjiasmantoi Metusala, sp. nov di Aceh

5 days ago 13
ARTICLE AD BOX

Cibinong, Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Bioevolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Destario Metusala menjelaskan Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman angrek di dunia. 

Chiloschista tjiasmantoi Metusala, sp. nov., spesies baru anggrek endemik Aceh dari genus Chiloschista (Orchidaceae), merupakan kelompok anggrek epifit tak berdaun yang ditemukan di Aceh, Pulau Sumatra.

Secara morfologi, bunga spesies baru ini menyerupai anggrek Chiloschista javanica yang endemik Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan mencolok, seperti petal yang berbentuk oblong-obovate serta bentuk bibir bunga yang khas.

Anggrek dari Aceh ini merupakan spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, sekaligus menjadi catatan pertama keberadaan anggrek Chiloschista di Pulau Sumatra. 

Nama Chiloschista tjiasmantoi disematkan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto atas dukungannya terhadap upaya pelestarian flora di Indonesia, khususnya Aceh. 

Anggrek C. Tjiasmantoi masuk dalam kategori Genting (Endangered) menurut kriteria IUCN Redlist. Hal itu karena diperkirakan luas area sebaran dan jumlah populasi yang terbatas, serta ancaman ekspansi perkebunan dan perubahan iklim. 

“Perluasan kawasan lindung di Aceh perlu segera dilakukan untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam kepunahan, terutama spesies unik yang hanya ada di Propinsi Aceh, ” harap Destario Metusala, di Cibinong (26/03/2025).

Destario menjelaskan bahwa anggrek C. tjiasmantoi memiliki kuntum bunga dengan lebar 1-1.2 cm dan berwarna kuning dengan pola bintik jingga atau kemerahan. Dalam satu tangkai perbungaan yang panjang, dapat menghasilkan hingga 30 kuntum bunga yang mekar secara simultan. Spesies ini umumnya ditemukan pada ketinggian 700–1000 m dpl, tumbuh menempel di batang pepohonan yang tua pada habitat semi-terbuka, berangin, dan lembap. Musim berbunga biasanya terjadi pada pertengahan Juli serta awal November hingga akhir Desember.

Lebih lanjut, Destario mengungkapkan penyebutkan anggrek tak berdaun, dikarenakan sepanjang daur hidupnya, anggrek tersebut dalam kondisi tanpa organ daun. “Semisal pun ditemukan daun, ukurannya amat sangat kecil, itupun hanya 1-2 helai saja dan akan segera gugur, ” ucapnya.

Salah satu genus yang ada di dalam kelompok anggrek tak berdaun adalah genus Chiloschista. Genus ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1832 dan kini mencakup 30 spesies yang tersebar dari Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia.

Anggrek ini lebih dikenal oleh para hobiis di Indonesia dengan nama anggrek akar, mengingat penampakannya seperti sekumpulan akar-akar berwarna kehijauan. 

Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki 4 spesies yang dapat ditemukan di Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Hingga kini, belum ada catatan keberadaan anggrek Chiloschista dari Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal PhytoKeys. (AA)

Read Entire Article
Penelitian | | | |